ibuku
>> Senin, 24 November 2008
Perempuan Terbaik
Wahai bunda hanya Tuhan saja yang dapat membalas jasamu erana Tuhan saja yang tahu penderitaanmu (Nasyid dari Nowseeheart)
Saat itu saya masih empat belas tahun. Untuk pertama kalinya, saya harus berpisah 'jauh' dengannya, perempuan terbaik yang pernah kenal. Tatkala tangan-tangan itu melambai, rasa bersalah berdentam-dentam di rongga dada. Ugghhh... kenapa saya tega meninggalkannya sejauh itu. Belum terbayang, kapan lagi saya akan kembali bertemu dengannya.
Sebelum perpisahan jarak 'jauh' itu, jarang sekali bunda enggan memberi izin, bila saya minta izin bepergian. Suatu ketika, saya pamit untuk pergi camping, mengikuti kemah pramuka Sabtu-Minggu di dekat gua stalagnit di kampung kami. Untuk pamitan dua hari itu pun, izinnya didapat dengan alot sekali.
"Hati-hati ya nak... jangan merusak alam, jangan berbuat macam-macam hati-hati... jangan..."
Berkali-kali nasehat itu diperdengarkan, risau sekali beliau akan keselamatan puteranya. Padahal, namanya juga acara anak SD, camping perkemahan Sabtu-Minggu itu di back-up puluhan guru pembina. Jumlah guru yang menyertai camping hampir sama banyak dengan jumlah murid, sebagai bukti keseriusan pihak sekolah untuk menjamin keselamatan kami. Tapi, namanya bunda, ia tetap saja penuh kekhawatiran pada keselamatan anaknya. Raut wajahnya tampak sangat mencemaskan puteranya yang berkeras untuk tetap pergi.
***
Tak lama berselang setelah perpisahan 'Sabtu-Minggu' itu, perpisahan 'jauh' benar-benar terjadi. Kali itu bukan camping di pinggir kecamatan. Tapi saya harus terbang menyeberangi lautan. Untuk melanjutkan studi ke sekolah dambaan. Tak terbayangkan bagaimana perasaan bunda melepas bocah kecilnya sejauh itu.
Satu tahun berselang, di sebuah libur panjang sekolah, saya kembali bertemu bunda. Sejuk wajahnya dan binar ketulusannya masih sama. Pehatian dan kasih sayangnya pun belum berubah. Cuma mungkin penampilannya sedikit berubah. Kilau perak mulai terselip di rambutnya.
Sejak saat itu, dengan dalih cita-cita, berulang kali saya meninggalkanya. Berulang kali beliau harus membekap kerinduan, memasung rasa kasih pada buah hatinya. Pada saat saya tergelak tertawa dengan konco sekodan, mungkin bunda sedang tenggelam dalam isak tangis kerinduannya. Saya sendiri, bukan tidak rindu padanya, warung bubur kacang ijo gang Masjid mungkin pelampiasan paling manjur, kalau rasa kangen padanya sedang meradang. Maklum setiap libur sekolah bunda selalu setia menanti dengan bubur ijo kesukaan puteranya. Jauh hari sebelum puteranya datang, berkilo-kilo kacang ijo sudah dipesannya untuk putera tersayang, yang belum jelas tanggal kedatangannya.
Saat melihat ibu-ibu lanjut yang berjalan sendiri di keramaian pasar, ingin rasanya menyapa mereka, mengajak bersenda-gurau, sambil berharap bunda juga diperlakukan ramah pula oleh lingkungannya. Kala menjumpai nenek yang beringsut membawa belanjaannya, terketuk keinginan untuk menawarkan bantuan, karena terbayang bunda yang tertatih-tatih dengan bebannya. Jika sudah mengkhayal begini, pertanda kerinduan padanya telah mengkristal. Cuma doa yang mampu dirangkum saat itu, semoga Allah Yang Menguasai langit dan bumi, menjaga dan menyayangi bunda.
Bila melihat pertikaian di tengah kampung kami, berbicang dengan bunda adalah solusi terbaik.
"Jangan pikirkan apa pelakuan orang yang mendzalimi kita, pikir saja kekhilafan kita, coba memperbaiki diri, jangan menghiraukan kata-kata sampah yang datang dari kaum jahil, persekongkolan para pendengki para itu sudah jelas sejak perang Khandaq. Belajarlah untuk menjadi hamba yang tulus, yang tak terganggu dengan perlakuan manusia, tapi niat karena-Nya harus benar, jangan pernah berharap pada makhluk."
Plong. Kepala yang tadinya cekot-cekot sepulang melihat perseteruan di balai desa langsung terobati.
Berbicara tentang ketulusan, ketulusan seorang ibu mungkin nomor satu. Saat bayi lemah tanpa gelar kesarjanaan itu lahir, dengan penuh khidmat, kasih sayangnya mengalir lancar tanpa pamrih. Menabur benih kebaikan kepada makhluk yang 'bukan siapa-siapa' memang aneh di era kapitalisme ini. Tapi itulah bunda, yang tak melihat apa yang akan didapatnya dengan membesarkan kami. Memperoleh senyum manis kerabat saat kenduri tetangga mungkin sudah lumrah, tapi mendapatkan perhatian penuh kasih bunda saat demam meradang menjelang subuh, itu baru luar biasa.
***
Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan bertanya,
"Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?" Beliau menjawab, "Ibumu." Tanyanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Ibumu." Tanyanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Ibumu" Kemudian tanyanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau mejawab, "Bapakmu."
(Muttafaq 'alaih).
***
0 komentar:
Posting Komentar