Sahabatku, Tataplah Hari Esok!
Saya baru saja direcoki curahan hati seorang kawan. Ya, kawan lama yang kerap berbagi duka maupun suka, sebagai siklus kehidupan yang penuh misteri, dibalut kekalutan dan ketidakberdayaan. Demikianlah inti curahan hati kawan yang mengalir dari mulut yang tampak sekilas didera kekecewaan.
* * *
Pasalnya, suatu ketika sahabat saya itu mencoba mengutarakan rasa cinta manusiawinya terhadap seorang wanita yang menurutnya anggun, pandai menjaga diri, tegas, dewasa dan tentu komitmen agamanya yang menawan. Pokoknya ia pas di kalbu. Itulah prolog uneg-uneg sahabatku yang menjadikan saya dipenasarankan.
* * *
Sahabatku bertutur, ketimbang memendam rasa yang menyeret-nyeret ke lautan fitnah yang lebih jauh, fitnah hati yang membelunggu dan terawang lamunan yang mengangkangi hari-harinya, maka dia pun menggoreskan pena di atas kertas, untuk menyampaikan rasa cinta yang tulus ini, yaitu meminangnya sebagai calon isteri tercinta di kemudian hari.
* * *
Dan kini, curahan hati sahabatku telah dituangkan dalam bentuk tulisan dan telah berada di tangan si empunya, calon isteri idamannya. Kendati demikian, ia pun sodorkan salinan secarik surat itu ke tangan saya, dan kubaca lalu isinya adalah,
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillaah washshalaatu wassalaamu 'ala rasuulillaah.
Saudariku Seiman…
Mungkin surat ini mengejutkanmu, atau merisaukanmu, atau bahkan menyulut amarahmu. Tapi memang inilah yang dapat aku perbuat, untuk menelisik ihwalmu, agar aku lenyapkan beban fitnah di raga ini, yang dari hari ke hari kian menggumpal, untuk kemudian menjelma menjadi bola salju yang menggelinding tak terkendali.
Saudariku Seiman…
Inti pesan suratku ini, meski ragu dan segan, adalah sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan, yaitu, apakah Adik dalam proses peminangan? Kalau jawabannya 'Ya', maka semoga memang itu yang terbaik bagi saya dan Adik. Tapi kalau jawabannya 'Tidak', maka pertanyaan yang kemudian menyeruak adalah, sudah siapkah Adik untuk mengayuh bahtera rumah tangga? Kalau jawabannya 'Belum', maka semoga itu pun sebuah penundaan yang terbaik dari Allah. Lalu, jika jawabannya 'Sudah', maka bisakah Adik mendampingi saya untuk bersama-sama berlayar dengan bahtera itu?
Saudariku Seiman…
Memang, rangkaian pertanyaan di atas mungkin agak menohok dan tanpa tedeng aling. Tapi saya kira, terkadang ketegasan akan memupus sebuah fitnah yang mendera. Saya harap Adik memakluminya. Kini saya hanya menanti respon Adik, kendati demikian apapun jawaban Adik, semoga saya dapat menerimanya dengan lapang dada dan penuh keikhlasan. Bukankah yang kita sukai itu bisa jadi menjerumuskan kita ke hal yang lebih buruk? Atau sebaliknya, bukankah yang kita benci justru membawa kita kepada kebaikan? Begitulah firman-Nya untuk umat manusia yang daif ini.
Saudariku Seiman…
Kalau surat ini dianggap sebuah kelancangan, maka dari lubuk hati yang paling mendalam, mohon pintu maaf Adik dibukakan selebar mata memandang. Kalau ini dianggap sebuah aib, maka mohon agar Adik menutupi aib saudaranya. Dengan sangat terbuka, saya sangat menanti nasehat atau Taushiyyah dari Adik. Pamungkas, sekali lagi saya mohon dimaafkan, semoga Allah mengampuni kekeliruan saya. Itu saja surat saya.
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.
Saudara Seimanmu di Bumi Allah
* * *
Hmm..., Pikiranku melayang jauh, dan sahabatku pun menyergap saya dengan sebuah pertanyaan, “Bagaimana suratnya, sudah dibaca semua?”
“Bagus, sebuah keberanian yang bertanggung jawab, dan penghindar fitnah yang efektif,” komentarku.
Tapi tak lama kemudian, dengan gurat wajah kuyu dan lunglainya, sahabatku itu merogoh saku baju kokonya sembari mengeluarkan lembar kertas lainnya yang lebih kecil dan berkata, “Ingin tahu jawabannya, coba baca ini!”, pintanya dengan nada memelas.
Seolah ingin cepat menjawab rasa penasaranku, apalagi dengan mimik wajahnya yang memilukan, maka tanpa basa-basi lagi langsung saja kubaca surat itu. Isinya adalah,
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Saudaraku Seiman…
Terus terang saya sepakat dengan keterusterangan Kakak, menurut saya, hal ini adalah hal yang wajar, dan Kakak telah melakukannya dengan cara yang baik. Bagi saya, hal ini adalah sebuah ikhtiar, jadi sama sekali bukan merupakan sebuah aib. Jadi, tidak ada satu pun yang perlu dipermasalahkan.
Saudaraku Seiman…
Dalam hidup, adakalanya kita harus memilih, dan jawabannya adalah, saya sedang dalam proses peminangan dengan seseorang. Ini adalah pilihan saya. Semoga Kakak segera mendapatkan seorang yang terbaik buat Kakak. Jangan pernah berputus harapan, sebab Allah yang paling mengetahui tentang siapa, kapan dan bagaimana jodoh kita akan kita temui atau menemui kita. Sekian, maafkan saya.
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.
Saudara Seimanmu di Bumi Allah
* * *
Kupandangi sahabatku. Kucoba membayangkan gejolak hatinya saat ia pertama kali membaca surat balasan si Adik, wanita idaman hatinya. Saya menduga, pasti ia tengah patah hati, kecewa, kesal, galau, kacau, risau dan membuat suaranya parau.
* * *
Tapi tampaknya, kali ini dugaan saya meleset. Ternyata senyum tegarnya menghiasi raut mukanya, seolah mimik kuyu dan lunglainya lenyap ditelan prasangka positif terhadap Rabbnya, dan memang seperti itulah seharusnya seorang Muslim berperangai,
Allah berfirman, Aku punya prasangka terhadap Hamba-Ku dan Aku bersamanya manakala ia mengingat-Ku. (HR Muslim)
Itulah Janji dari Allah, untuk memperlakukan hamba-Nya sesuai dengan prasangka dia terhadap Rabbnya. Manakala seorang hamba berprasangka positif atas Allah, maka Allah pun akan memberikannya yang lebih baik.
* * *
Ia terlihat ridha atas balasan surat itu. Sebab baginya, keridhaan adalah mata air kebahagiaan yang tak pernah kering meski diterpa kemarau.
Merupakan kebahagiaan anak Adam, manakala ia ridha atas apa yang telah Allah tetapkan terhadapnya, dan merupakan kebinasaan anak Adam, manakala ia marah atas apa yang telah Allah tetapkan terhadapnya (HR Turmudzi)
Sebab baginya, di balik keridhaan ada dimensi lain yang tengah menanti.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 216)
* * *
Dan saya berkeyakinan, ia telah tempuh jalan terbaik untuk mengenyahkan beban fitnah itu. Semoga hal yang baik dibalas jua dengan kebaikan.
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula. (Ar-Rahmaan: 60)
* * *
Sekali lagi, kutatap sahabatku tercinta. Aku berpikir, mungkin Allah sekedar menunda jalinan cintanya, atau ada skenario ilahi yang sulit ditebak. Lalu kupesankan kepadanya sebuah pepatah, “Garam di laut, asam di gunung, dalam belanga bertemua jua”.
"Kalau memang dia jodohmu, tak akan kemana-mana," kataku, sekedar untuk menghibur hatinya yang agak gundah gulana.
* * *
Dan saya ingatkan dia dengan pesan Rasulullah,
Dan tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah terberat bagi laki-laki daripada wanita. (HR Bukhari).
Terakhir, saya berdo'a untuknya, agar sahabatku tetap tegar, tetap optimis dan istiqomah, karena toh hari esok masih menghampar luas.
Wahai sahabatku, tataplah hari esok, jangan pernah berputus asa. Semoga Allah menguatkan hatinya.Wallahua’lam
Mencintai Dan Dicintai ?
Dear Mentari... aku tahu tiap hariku tak kan lewat tanpa sinarmu. Pun kini rasanya namamu telah mengisi ruang-ruang hati. Ada sepucuk harapan yang kadang timbul lalu pergi, bahwa diri ini selalu mencari kapan waktunya tiba untuk menjemputmu turun, ke sini".
Ummi,
Tahukah kamu, bahwa kalimat-kalimat di atas telah terukir dalam dadaku semenjak aku belum mendapatkanmu. Walau sederhana, namun ia mewakili hasrat hatiku untuk mendapatkan seorang mentari, seperti dirimu.
Ummi,
Tak terhitung ucap syukurku saat Dia membawamu ke hadapanku, saat itu. Saat kamu berkenan untuk membagi hidupmu denganku, saat kamu menyambut tawaranku untuk meminangmu, saat ikrar itu kulantunkan dan mulai detik itu kamu kan menghabiskan hari denganku, saat itu.
Mulai saat itu, Rasanya tak terhitung keindahan yang telah kamu suguhkan padaku. Melalui senyum yang kulihat setiap memulai hari, melalui tutur katamu yang bak nyanyian bidadari, melalui belai lembutmu yang telah menghapus penatku, melalui tawamu yang menyegarkan hatiku, ... semua itu adalah keindahan tak berbilang yang tak sanggup lagi kuuraikan.
Mulai saat itu, Tak sanggup pula kuhitung bilangan bubuk cinta yang telah kau taburkan, hingga laksana heroin-ia telah kuhirup dan memabukkanku sampai kini. Ketika kau basuh lukaku dengan kelembutanmu, kala aku terjatuh hingga tersungkur-dan kau memapahku hingga berdiri. Ketika kau hapus air mataku dengan kesabaranmu, kala langkahku tertatih-nyaris tak sanggup lagi menghadapi kesulitan yang pernah kita hadapi-dan kau memberikan kasihmu dengan caramu hingga tangisku berubah menjadi senyumku. Dan aku semakin cinta.
Mencintaimu,
Adalah memiliki kedua permata kecil kita, Dan aku seolah tak menginginkan apapun lagi.
Mencintaimu,
Adalah memiliki rumah sederhana kita, Dan di sanalah selalu tempatku kembali.
Mencintaimu,
Adalah memiliki seluruh detik yang telah kita lewati bersama, Dan dengannya kupersembahkan cinta ini. Walau tak terucapkan, walau mungkin tak kau rasakan, tapi percayalah, diriku mencintamu.
Mentariku,
Kau menghangatiku di sini.
-Dedicated to my beloved wife-
Menyatakan cinta kadang menjadi hal yang tidak familiar dan terasa vulgar untuk dilakukan. Sebagian orang bilang, cinta itu tak perlu dinyatakan, namun tercermin dari perilaku. Cinta itu tak perlu diperdengarkan bak rayuan gombal anak-anak muda yang sedang kasmaran, sebab cinta bisa diperlihatkan dari sikap dan tingkah laku.
Benarkah demikian?
Di saat lelah mulai merayapi hari-hari kebersamaan bersama pasangan tercinta, di saat waktu telah membuka setiap celah kelemahan dan membentangkan kenyataan dari sosok pasangan yang mendampingi kita, di saat segala bentuk persiapan dan perencanaan hidup mulai menguakkan keberhasilan atau kegagalan, di saat kita mulai menyadari betapa berartinya ia yang telah menjadi penopang kala kita lemah, penyemangat kala diri ini lelah, penghibur kala terserang gundah, ia telah menjadi teman sejati.
Jadi,
Masihkah ragu menyatakan cinta padanya?
Read more...