Janda Konflik di Aceh Masih Berada di garis Kemiskinan
>> Selasa, 06 Januari 2009
Mayoritas janda korban konflik di Aceh sampai saat ini masih di bawah garis kemiskinan dan taraf pendidikan tidak lulus Sekolah Dasar dengan usia rata-rata diantara 18 hingga 75 tahun.
“Kebijakan pemerintah, terutama dalam sektor sosial ekomoni belum maksimal untuk menyentuh kehidupan para janda yang hidup dalam taraf miskin,” ujar Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, saat membuka pertemuan forum pemberdayaan perempuan kepala keluarga, di Asrama Haji Banda Aceh, kemarin.
Menurut Nazar, selama kurun waktu hingga 2004 secara data, ada 14 ribu perempuan di wilayah Aceh yang menjadi janda akibat konflik bersenjata.
Selain itu, juga tercatat sebanyak 58 ribu lebih anak menjadi yatim dan piatu karena orang tuanya menjadi korban konflik. “Jumlah itu pastilah melonjak setelah hadirnya bencana tsunami di penghujung 2004 lalu,” sebutnya.
Sementara dari data nasional, lanjutnya, sekitar 13,4 persen janda yang ada di Indonesia masih hidup dalam kemiskinan. Disamping itu, mereka harus menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab menghidupi anak-anaknya.
“Kemiskinan yang dialami janda korban konflik itu disebabkan banyak faktof, diantaranya tingkat pendidikan yang rendah serta stigma dari masyarakat hingga membuat mereka kesulitan memperoleh akses dalam berbagai hal di masyarakat,” tambah Wagub Nazar.
Karenanya, ada anggapan pemerintah Aceh sangat kurang memperhatikan nasib pada janda konflik itu. “Kami selaku bagian dari pemerintahan Aceh mengakui kelemahan itu,” sebutnya. “Itu sebabnya berbagai langkah terus dilakukan untuk memberi perhatian terhadap kaum kepala rumah tangga perempuan di Aceh,”.
Jika perhatian terhadap terhadap kepala keluarga perempuan kurang, jelasnya, akan berdampak kepada tingkat rendahnya pembangunan sumber daya manusia di Aceh.
Harapnya, kepala rumah tangga agar selalu memperhatikan dan memberikan peran lebih kepada kaum perempuan Aceh, terutama dalam ruang lingkup kehidupan sosial kemasyarakatan.
“Namun demikian, bukan berarti kaum perempuan melupakan kodratnya sebagai pengatur rumah tangga, karena bagaimanapun dalam ajaran Islam, kedudukan suami tetap sebagai imam alias kepala keluarga,” tandasnya.
Apalagi, tambahnya, sesuai dengan system pengelolaan aadministrasi kependudukan di Indonesia berdasarkan UU nomor 23 tahun 2006, tentang administrasi kependudukan, yang menjadi kepala keluarga adalah suami.
Menurut Nazar, meskipun di Aceh banyak kaum perempuan Aceh menjadi janda akibat kehilangan suami, secara otomatis mereka berubah fungsi dan bertambah beban dalam memikul tanggung jawab keluarga.
( aceh-economy-review.com
0 komentar:
Posting Komentar